Kamis, 22 Oktober 2009

selingkuh di perjalanan

Menjelang magrib dijemput kolak, itu surganya bulan puasa. Tapi Ny. Kesti, 37, dari Pasuruan (Jatim) justru memilih dijemput…..maut! Itupun caranya tidak lazim, harus minum racun serangga dulu. Dia memang tengah kalut, gara-gara aksi selingkuhnya berada di persimpangan jalan!

Di bulan Romadon sekarang ini, acara teve yang paling mngasyikkan bagi para shoimin dan shoimat adalah menunggu adzan magrib. Sebab di sinilah titik akhir segala dahaga dan lapar sepanjang hari itu. Kadang lupa membaca do’a “Allohuma lakasumtu…..” langsung saja wush wush….kolak dua mangkok ludes. Belum juga salat Magrib, lalu disusul makan kurma, lalu makan nasi. Perut pun kenyang, heek…heeek….., bersendawa mirip suluknya dalang wayang kulit gaya Yogyakarta.

Yang demikian itu tentu saja ketika pikiran sedang ceria, bebas masalah. Tapi jika pikiran tengah kalut seperti Ny. Kesti ini, boro-boro mikir kolak dan buah kurma pembatal puasa, justru setan selalu mengajaknya untuk berbuat menuju kehancuran. “Daripada pusing mikir kelanjutan asmara cintamu, mending bunuh diri saja. Semuanya akan selesai. Percayalah Bleh, aku selalu bersamamu…..!” kata setan mencoba mempengaruhi Ny. Kesti yang sedang erosi iman.

Memang, iman Ny. Kesti memang tengah berada di titik nadir. Betapa tidak? Bulan puasa, di siang hari lagi, kok bisa-bisanya ngendon di villa daerah Prigen, bersama PIL-nya. Padahal di rumah, suami dan anak-anak tengah menunggu. Nanti sore ibu masak apa ya? Padahal, di tempat lain ibu mereka justru sedang “dimasak” lelaki lain yang merampas cinta kasih anak-anak tak berdosa tersebut. Tapi mungkinkah Kesti yang tengah dilanda asrama, berfikir sejauh ini?

Ny. Kesti sebetulnya sudah cukup bahagia bersuamikan Widya, 42, petani di Desa Tamiajeng Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto. Anak-anak tumbuh secara normal dan lucu, sementara suami juga sangat bertanggungjawab pada keluarga. Tapi dasar Kesti termasuk wanita yang kendho tapihe (rawan selingkuh), dia masih terpikat juga pada Bejo, 40, pedagang ikan di Pasar Trawas. Namanya juga sedang kasmaran, biar si cowok bau amis, Ny. Kesti tetap ngethek (nempel) saja. Dia jadi lupa pada anak dan suami.

Awalnya Bejo biasa-biasa saja menanggapi gelora asmara wanita pelanggannya tersebut. Tapi karena bini Widya ini lumayan cantik, dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Sebagai pedagang ikan, boleh dong kelakuannya seperti ikan lele: matil sana matil sini. Dan itulah memang yang terjadi. Ketika Kesti sudah demikian jinak-jinak merpati, Bejo sebagai lele bumbo segera “mematil”-nya…. jebretttttt! Skandal kali pertama ini terjadi sebelum bulan puasa lalu.

Patilan tukang ikan itu membuat Ny. Kesti semakin kesengsem, sehingga dia lebih berat pada Bejo daripada suaminya. Dia pernah minta cerai pada Widya, tapi suami tak meluluskannya. Sedangkan Bejo juga nyosor terus, minta segera bisa menikah resmi. Akibatnya perselingkuhan Kesti berada di persimpangan jalan, berat keluarga atau berat Bejo. Pusing-pusing Kesti, seperti pusingnya sejumlah menterinya SBY. Pilih tetap jadi mentri sampai 20 Oktober, atau kehilangan kesempatan jadi anggota DPR. Padahal, gagal Senayan juga tak ada jaminan bisa bergabung lagi ke Cikeas.

Untuk menghilangkan rasa pusing, Kesti tidak minum bodrex sebagaimana Wagub Jabar Dede Jusuf, tapi memilih chek in ke villa di Prigen bersama Bejo. Mereka masuk sekitar pukul 10.00 beberapa hari lalu. Meski siang hari bulan puasa, Kesti – Bejo tetap saja mengumbar nafsu tanpa takut harus puasa kifarat selama 2 bulan berturut-turut. Tapi usai puas mengumbar nafsu, Kesti pun teringat benang kusut dalam keluarganya. Dia sungguh menjadi pusing dan bingung. Saat Bejo pergi keluar, Kesti memilih minum racun serangga. Ketika gendakannya kembali menjelang buka, istri Widyo ini tengah meregang nyawa, berputus asa dari rahmat Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar