Kamis, 22 Oktober 2009

sebelum putus cinta cerai

Andaikan sebuah rumah, Jamsari, 36, belum serius benar mau menjualnya. Tapi ada peminat yang mendesak-desak terus untuk menjualnya, Itulah analoginya. Ketika Jamsari mau menceraikan bini, belum juga perceraian dikabulkan, sudah ada lelaki lain yang memacari Hersi, 28, istrinya. Bagaimana dia tak ngamuk?

Tak bisa dibantah, ngurus perceraian di Pengadilan Agama sama lama dan bertele-telenya seperti ngurus sertipikat tanah di Kantor BPN. Cuma bedanya, urusan agraria bisa dipercepat dengan tebalnya duit, di Pengadilan Agama tak ada kompromistis semacam itu. Sebab tujuan majelis hakim memang baik, sengaja urusan itu diulur-ulur agar para pihak yang bersengketa sadar, sehingga kembali rukun dalam naungan keluarga sakinah. Bukankah sebuah hadist Nabi mengatakan: cerai perbuatan halal, tapi sangat dibenci Allah Swt.

Istri Jamsari yang bernama Hersi, kini juga tengah benci ampun-ampun pada suaminya. Soalnya, 10 tahun berumahtangga, tak ada kemajuan sama sekali dalam bidang ekonomi. Yang nambah anak melulu, sudah ada tiga biji. Padahal mustinya Jamsari sadar, tambah anak berarti tambah kebutuhan. Padahal, gaji bulanan dari kantornya tak cukup untuk hidup layak. Itu artinya, Jamsari harus getol bekerja untuk mencari nafkah. Bukan hanya getol “ngerjai” bini saja!

Kreatifitas Jamsari sebagai kepala rumahtangga memang minim sekali. Tahu kebutuhan meningkat, dia tetap saja mengandalkan gajinya yang kecil dari kantor. Tak ada sama sekali terobosan, misalnya ngobyek sana ngobyek sini. Pulang kerja sekitar pukul 16.00, setelah makan dan salat Ashar terus sarungan duduk-duduk manis hingga saat magrib tiba. Habis magriban baca Qur’an hingga waktu Isya tiba. Setelah salat Isya nonton “Tawa Sutra” di Anteve hingga jam 21.00. Setelah itu masuk peraduan untuk “mengadu” sesuatu.

Akibat gaya hidup Jamsari yang monoton tanpa warna, rejeki keluarganya ya begitu-begitu saja. Padahal Al Qur’an mengingatkan: Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang berusaha mengubahnya (surat Al Ra’du ayat 11). Itu artinya, harus rajin kerja dan usaha. Misalnya, pulang kerja ya jangan ngendon di rumah saja. Banyaklah silaturahmi antar sesama, di situ nanti akan muncul peluang. Bukankah banyak silaturahmi akan menambah rejeki dan memperpanjang umur?

Hidup Jamsari yang stereotip (begitu-begitu saja), membuat Hersi sungsang sumbel untuk mencukup-cukupkan gaji suami. Tapi karena bahannya memang ngapret (cekak), dijereng-jereng sampai mata jereng juga tak cukup. Celakanya jika Hersi mendorong suami cari usaha tambahan, Jamsari malah marah. “Memangnya gampang cari kerja tambahan?” ujar lelaki dari Desa Hargomulyo Kecamatan Kedewan (Bojonegoro) ini. Habis itu jadi ribut, marah-marahan, padu bukan dalam arti sikil papat diedu (empat kaki diadu).

Sayah (capek) ngemong suami yang kepala batu dan tanpa kreatifitas, Hersi kemudian menggugat cerai di Pengadilan Agama. Daripada begini-begitu terus, mendingan pecah kongsi mumpung masih muda. Jamsari yang tak rela dengan tekad istrinya, makin senang saja ketika pihak PA di Bojonegoro selalu memperlama proses perceraian itu. Celakanya, sementara kata cerai belum ada, eh…..ada lelaki yang berani ngapeli istrinya di rumah yang konon dalam rangka “penjajagan”.

Apapapun alasannya, Jamsari tidak bisa menerima cara-cara seperti itu. Betul “rumah” itu mau dijual, tapi kan belum mantep, kenapa didesak-desak terus? Orang pendiam macam Jamsari ketika ngamuk ternyata menakutkan. Calon pacar Hersi langsung kabur duluan, dan ibu tiga anak itu tak urung jadi sasaran, digebuki sampai babak belur. Seperti biasa, dalam kondisi wajah simpang siur ibu malang ini mengadu ke Polres Bojonegoro dengan membawa pasal-pasal KDR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar